Kamis, April 03, 2008

Musim Berburu Notebook Murah

18 / XIV 19 Mar 2008

Antusiasme masyarakat mengiringi rilis tiga merek notebook Rp 3 jutaan. Para pabrikan yang didukung penuh Intel itu mengusung misi sosial pendidikan. Donasi hingga harga subsidi untuk sekolah negeri.

Magnet baru muncul di Mega Bazar Computer 2008 yang berlangsung serentak di belasan kota di Indonesia, 12 Maret hingga 16 Maret. Calon idola gres itu adalah notebook mungil (subnotebook) murah meriah. Tiga pabrikan komputer personal (PC) bakal memajang produk andalan mereka dengan banderol Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta-an.

Harga murah subnotebook buatan Asus, Zyrex, dan Axioo ini diprediksi bakal menarik minat pengunjung di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Makassar. Bukan tak mungkin, akan terjadi antrean untuk mendapatkannya. Dugaan ini berdasar pada pengalaman penjualan perdana Asus EEE PC, akhir Januari lalu di Jakarta. Hanya dalam hitungan jam, 300 unit yang tersedia ludes diserbu pembeli.

Pada waktu itu, seri yang tersedia baru EEE PC 4G seharga Rp 3,6 juta dengan sistem operasi Xandros Linux dan Rp 3,9 juta jika memakai Windows XP Home Edition. Hal serupa terjadi sebulan kemudian, saat penjualan perdana Zyrex Netbook Anoa yang dibanderol Rp 2,99 juta.

Antusiasme masyarakat ini membuat para produsen menaikkan target penjualan. Direktur Pemasaran Asus Asia Tenggara, Darwin Wu, menyebutkan mereka menambah target penjualan dari 40.000 unit menjadi 60.000 unit tahun ini. Angka lebih optimistis diungkap Presiden Direktur Zyrex Indonesia, Timothy Siddik. Ia berani mematok angka minimal 100.000 unit penjualan untuk Netbook Anoa dan Netbook Ubud.

Sementara itu, Axioo, yang menggeber Classmate PC seharga Rp 3 juta-an, tak memberikan angka target penjualan. Stephen Lim, Managing Director Axioo International, hanya menyebutkan mereka bakal lebih banyak menyalurkan Classmate PC ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. ''Karena tujuan kami lebih untuk membantu pengembangan dunia pendidikan,'' ujar Lim.

Penjelasan Lim ini sesungguhnya adalah cerminan niat awal pembuatan Classmate PC. Notebook mungil ini adalah program milik Intel, perusahaan chip memori komputer terbesar di dunia. Sejak dua tahun silam, mereka menggelar Intel World Ahead yang bertujuan membantu memajukan dunia pendidikan di negara-negara berkembang.

Karena itu, Intel mendesain Classmate PC sesuai dengan kebutuhan dasar siswa seperti mengetik dan mengakses internet. Spesifikasi awal meliputi prosesor Intel Celeron M 900 megahertz, memori 256 megabit, dan media penyimpan berbasis flash memory 1 gigabyte (GB).

Ukuran layar 7 inci dengan resolusi 800 x 480 piksel dan berat sekitar sekilogram. Plus fasilitas WiFi, port USB, digital pen, serta batere enam sel yang sanggup bertahan empat jam. Pilihan sistem operasi bisa Linux ataupun Windows. Dengan spec seperti ini, harga Classmate PC bisa ditekan hanya US$ 200.

Namun saat mulai dipasarkan tahun ini, banderol harganya naik menjadi US$ 300 hingga US$ 400. Selain akibat kenaikan biaya bahan baku produksi, juga penambahan spec, yaitu pada memori menjadi 512 MB dan 1 GB, dan media penyimpan menjadi 2 GB dan 4 GB.

Intel Classmate PC ini sejalan dengan program One Laptop Per Child (OLPC) milik Nicholas Negroponte yang meluncur setahun sebelumnya. OLPC menargetkan penjualan notebook seharga US$ 100 ke 150 juta anak sekolah di seluruh penjuru dunia. Kesamaan misi ini membuat Intel lalu bergabung ke konsorsium OLPC yang juga didukung oleh Google, AMD, dan RedHat.

Awal tahun ini, Intel keluar dari konsorsium OLPC, lantaran konsorsium itu meminta penghentian program Classmate PC. Beda dengan OLPC yang murni sosial dan bersifat nirlaba, program Classmate PC Intel tetap bernuansa bisnis. Maklum, Intel perlu menggandeng beragam perusahaan PC untuk merakit Classmate PC. Konsep yang dipakai Intel adalah ODM (original design manufacture) dan OEM (original equipment manufacture).

Sehingga, Intel hanya menyediakan desain dan prosesor, dan perusahaan PC yang merakit dan juga berhak memberi nama/brand tersendiri untuk dijual ke konsumen. Sampai kini Intel sudah menggandeng tiga pabrikan yaitu Asus, Axioo, dan Zyrex. Pabrikan itu yang menyediakan Classmate PC untuk dunia pendidikan baik bersifat donasi maupun dengan harga subsidi. Mereka juga bisa menjual langsung produknya ke konsumen umum atau sekolah yang sudah maju. Mengingat, permintaan pasar terhadap produk ini ternyata sangat besar.

Untuk donasi, sesuai dengan target Intel World Ahead, jumlahnya mencapai 100.000 unit ke sekolah di seluruh dunia. Sekolah yang berhak mendapat donasi umumnya sekolah negeri yang tak punya cukup dana. Sedangkan bagi sekolah kaya, bisa memesan Classmate PC dengan harga normal. Pesanan terbesar hingga kini berasal dari Allama Iqbal Open University di Pakistan sebanyak 700.000 unit.

Di Indonesia, selain penjualan komersial oleh Asus, Zyrex, dan Axioo, sebanyak 100 unit notebook mungil didonasikan ke dua sekolah dasar di Jakarta. ''Ini memang baru pilot project yang berlangsung Januari lalu. Nanti kami teruskan ke wilayah pinggiran lain di Pulau Jawa,'' kata Country Manager Intel Indonesia Budi Wahyu Jati.

Menurut Budi, kebutuhan PC di sekolah Indonesia masih amat tinggi. Saat ini rasio PC dengan siswa adalah 1:1.900. Selain itu, angka kepemilikan PC di segmen rumah tangga juga masih rendah. Dalam hitungan Intel, potensi pasar di dua segmen ini mencapai 7 juta unit. ''Karena itu, ke depan, kami akan lebih banyak menggandeng pabrikan komputer lokal untuk membuat Classmate PC,'' ujar Budi.

Prospek bisnis subnotebook murah memang menjanjikan. Tengok saja hasil penjualan Asus EEE PC di pasar dunia. Hanya dua bulan sejak rilis pertama di Taiwan, Oktober silam, 300.000 unit ludes terjual. Tak mengherankan jika lembaga analis riset JP Morgan memprediksi, subnotebook dalam beberapa tahun mendatang akan menguasai 20% pengapalan notebook dunia.

Astari Yanuarti

Negroponte Mencari CEO

Beberapa pekan terakhir, Nicholas Negroponte makin sibuk. Pria yang membidani proyek OLPC ini tengah mencari CEO (chief of executive officer). Ternyata pencarian ini sulit. Meski di Amerika Serikat ada banyak orang yang mumpuni di bidang teknologi informasi. ''Saya butuh sosok seperti Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB, yang memandang dunia sebagai ladang amal dan bukan sebagai pasar,'' ujar pria keturunan Yunani itu.

Saking sulitnya menemukan sosok yang pas, Negroponte meminta bantuan ke perusahaan head hunter Spencer Stuart. Target penemuan pun diperpanjang hingga Mei nanti. Sebenarnya banyak kalangan menilai ia layak menduduki posisi itu. Tapi karena merasa tak pas, profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini menolak.

''Manajemen, administrasi, dan detail adalah kelemahan saya. Saya lebih tepat sebagai pembuat visi,'' Negroponte, yang bertindak sebagai Chairman OLPC, berkilah. Maklum, selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, reputasi Negroponte adalah sebagai mesin penghasil ide-ide besar nan segar. OLPC adalah satu buktinya. Proyek idealis ini punya cita-cita mulia menyediakan 150 juta laptop murah untuk anak-anak sekolah miskin.

Hanya saja, setelah berjalan selama tiga tahun, proyek mulia ini menghadapi banyak kendala. Meski sudah didukung AMD, Google, dan RedHat, tak mudah merealisasikan laptop seharga US$ 100. Setelah ditekan sana-sini, biaya pembuatan OLPC tak bisa turun dari US$ 188. Masalahnya makin rumit setelah Intel yang sempat bergabung di OLPC memilih keluar awal tahun ini demi menggencarkan program Classmate PC.

Kehadiran beberapa seri laptop murah lain di pasar juga membuat taji OLPC berkurang. Beberapa negara seperti Libya, Nigeria, dan Thailand mempertimbangkan kembali kesepakatan dengan OLPC. Untunglah, 12 negara percontohan lain tetap ada di belakang OLPC. Sejak produksi massal November lalu, sekitar 350.000 laptop OLPC sudah disebar.

Sayang, angka ini masih jauh sekali dari target awal. ''Saya baru sadar sekarang, proyek ini butuh seorang CEO yang bisa mengatur dengan baik demi mencapai suatu yang hampir mustahil,'' ujar pria 64 tahun itu kepada BusinessWeek. Walau CEO belum ada, ia mulai menerapkan reorganisasi.

Dalam beberapa pekan mendatang, proyek ini dipilah menjadi empat divisi: teknologi, penempatan, pengembangan pasar dan pencarian dana, serta administrasi. Langkah perubahan ini diharapkan bisa membuat program ''Bunda Theresa'' itu tak tenggelam di tengah serbuan laptop murah dari beragam pabrikan.

Di sisi lain, jika pamor OLPC tersaingi, kepeloporan Negroponte tak bakal ikut pupus. Menurut peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, program OLPC Negroponte telah memicu inisiatif mengatasi problem rendahnya pendidikan di negara-negara miskin. ''Jadi sudah sepatutnya dunia berterima kasih pada Nicholas,'' ujar Yunus.

Astari Yanuarti

1 komentar: