Sabtu, April 05, 2008

SMS = Sesuka Maunya Sendiri

10 / XIV 23 Jan 2008

KPPU menemukan indikasi kuat ada pelanggaran dalam penetapan harga SMS oleh delapan operator seluler. Empat operator menetapkan harga empat kali lipat lebih mahal dari biaya produksi Rp 76 per SMS. Pemerintah berjanji segera menyelesaikan aturan baru penghitungan tarif batas atas SMS.

Industri telekomunikasi Indonesia kembali berada di bawah kaca pembesar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Setelah memutuskan kasus kepemilikan silang Temasek Holdings dan pengenaan tarif mahal PT Telekomunikasi Indonesia (Telkomsel), kini KPPU menelisik kasus penetapan harga pesan singkat (SMS). Kasus ini sudah memasuki tahap pemeriksaan lanjutan sejak pekan pertama Januari.

Menurut Ketua Majelis Pemeriksa KPPU Dedie Martadisastra, sampai pekan ini, mereka sudah memeriksa delapan operator yang menjadi pihak terlapor. Mereka adalah Excelcomindo Pratama (XL), Telekomunikasi Indonesia (Telkom), Telkomsel, Indosat, Hutchison CP Telecommunications, Smart Telecom, Mobile-8, serta Bakrie Telecom. ''Kita juga akan memanggil Natrindo Telepon Seluler sebagai operator kesembilan, Rabu ini,'' kata Dedie.

Pemeriksaan lanjutan, yang akan berakhir Maret nanti, dilakukan karena pada pemeriksaan pendahuluan, tiga operator, yaitu Indosat, Bakrie Telecom, dan Hutchison, belum memenuhi panggilan majelis pemeriksa. Ketiganya baru datang ke KPPU setelah mendapat panggilan kedua.

Berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan, Dedie menyatakan KPPU menduga terjadi pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal yang terdiri dari dua ayat ini melarang pelaku usaha membuat perjanjian penetapan harga dengan pelaku usaha pesaingnya. ''Kami mendapatkan bukti adanya perjanjian kerja sama antar-operator terkait dengan penetapan tarif SMS,'' Dedie menjelaskan.

Dua operator Hutchison dan Bakrie Telecom, ia melanjutkan, mengakui meneken perjanjian kerja sama dengan operator lain. Dalam perjanjian Hutchison dengan XL, tertera bahwa Hutchison tak boleh menjual layanan SMS di bawah tarif termurah XL, yaitu Rp 250 per SMS.

Nah, masalah muncul saat Hutchison yang punya merek dagang 3 (Three) ini membandrol SMS lintas operator (off net) hanya Rp 100 per SMS. Bagi Hutchison, tarif sebesar itu sudah di atas biaya produksi mereka. Alias mereka sudah bisa mendapat untung.

Hitungan Hutchison ini ternyata tak beda jauh dengan penghitungan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang diumumkan pertengahan tahun silam. Menurut anggota BRTI, Heru Sutadi, ongkos produksi tiap SMS off net hanya berkisar Rp 76. Biaya ini berdasarkan pada skema interkoneksi berbasis biaya (cost-based) berdasar laporan keuangan tahun 2003. ''Jika dhitung dengan laporan keuangan terbaru, biaya produksi SMS lebih murah lagi, karena tarif interkoneksi makin turun,'' Heru memaparkan.

Ia menambahkan, biaya produksi itu memang belum mencakup margin dan biaya retail untuk iklan. Dan jika ditambah dengan kedua komponen ini, ia memperkirakan tarif SMS off net paling mahal hanya Rp 150 per SMS. Bandingkan dengan tarif SMS off net semua operator seluler yang dipatok Rp 350 per SMS untuk pelanggan prabayar dan Rp 250 per SMS untuk pelanggan pascabayar.

Tarif seragam ini sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun, sejak layanan SMS lintas operator muncul pada Mei 2001. Memang, berbeda dengan hitungan BRTI yang memakai skema interkoneksi berbasis biaya, tarif SMS lintas operator yang berlaku sampai sekarang adalah sender keeps all ( SKA).

Model SKA ini tak memperhitungkan biaya interkoneksi. Sehingga pendapatan operator didapat dari setiap outgoing SMS pelanggan. Mereka tak menerima sepeser pun dari incoming SMS yang diterima pelanggan.

Nah, KPPU menduga SKA menjadi alasan utama operator mematok harga SMS off net di kisaran yang sama. Tujuannya supaya tak terjadi spamming SMS (banjir SMS sampah) yang akan muncul jika ada operator yang menerapkan tarif lebih murah. ''Alasan ini sulit kami terima, karena perkembangan teknologi sekarang bisa mencegah spam,'' ujar Dedie.

Selain itu, keseragaman tarif SMS off net ini tak sejalan dengan ketatnya kompetisi pasar seluler. Saat SMS lintas operator dimulai, pemain di pasar selular baru empat, yaitu Satelindo, XL, Telkomsel, dan IM-3. Tahun ini pemainnya menjadi sembilan operator telepon, baik selular maupun telepon tetap nirkabel (FWA).

Yang juga mengherankan, tarif SMS lintas operator seolah imun dari pergerakan trafik SMS yang melonjak drastis selama tujuh tahun terakhir. Berdasar data yang dikumpulkan Gatra, trafik SMS pada masa awal hanya berkisar 10 juta SMS per hari. Tiap pelanggan telepon hanya mengirim dua SMS per hari.

Angka ini melonjak pesat sampai akhir tahun lalu. Trafik SMS di Indonesia sekitar 300 juta per hari. Telkomsel sebagai penguasa pasar mencatat angka terbesar, yaitu 200 juta SMS per hari. Disusul oleh Indosat yang mencatat 110 juta SMS per hari dan XL sebanyak 60 juta SMS per hari.

Tak mengherankan jika kontribusi SMS pada pendapatan operator pun ikut terkerek. Dari hanya sekitar 2% di pada tahun 2000 menjadi sekitar 30% sejak tiga tahun lalu. Pendapatan gabungan seluruh operator dari SMS bisa mencapai Rp 105 milyar per hari (dengan memakai harga Rp 350 per SMS karena 95% pelanggan telepon adalah pelanggan prabayar). Atau Rp 3,1 trilyun per bulan dan sekitar Rp 37,8 trilyun per tahun.

Menurut Dedie, jika mengacu kondisi persaingan dan elastisitas pasar antara permintaan dan suplai, seharusnya ada penurunan harga SMS. Inilah yang memicu dugaan KPPU terhadap penetapan harga SMS oleh para operator telepon di Indonesia. ''Bahkan bukan tak mungkin praktek ini mengarah pada kartel SMS,'' kata Dedie.

Kartel juga terlarang dalam persaingan sehat, sesuai dengan Pasal 11 UU Nomor 5/1999. Beleid ini menyebutkan, kartel terjadi jika ada perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis antara pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan cara pengaturan produksi atau pemasaran suatu barang/jasa.

Praktek tak sehat ini tentu saja merugikan pelanggan yang seharusnya bisa menikmati tarif lebih hemat. Malah, menurut majelis pemeriksa KPPU, operator pun bisa dirugikan, karena kapasitas jaringan mereka tak terpakai maksimal. Sayang, KPPU belum bisa memberikan angka pasti berapa kerugian pelanggan maupun kerugian operator. Karena masih di tahap awal penyelidikan lanjutan.

Di tengah upaya KPPU membuktikan praktek penetapan harga dan kartel ini, para operator beramai-ramai menyatakan mereka sudah memperbarui perjanjian kerja sama SMS. Pembaruan ini dilakukan sejak tahun lalu dengan menghilangkan persyaratan harga jual SMS.

Malah, Indosat menyatakan tak pernah membuat perjanjian kerja sama penetapan harga SMS dengan operator lain. Menurut Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam, mereka punya strategi yang berbeda sesuai dengan segmen pasar Indosat. Ia menegaskan, selama ini tarif SMS memang tak diatur pemerintah, karena dianggap sebagai value added service (VAS). ''Jadi kalau sekarang mau diatur, ya segera diatur. Kami akan ikut,'' ujar Johnny.

Seruan Johnny ini ternyata sejalan dengan langkah BRTI. Akhir bulan ini, BRTI bertekad menyelesaikan skema baru tarif seluler. ''Di dalamnya kita juga mengatur tarif SMS yang memperhitungkan biaya interkoneksi,'' kata Heru. Aturan berupa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika ini akan memberi batas atas tarif SMS yang boleh dibebankan ke pelanggan.

BRTI memang belum bisa mengungkap berapa tarif batas atas SMS. Tapi berdasarkan hitungan yang sudah ada, bisa diperkirakan tarif batas atas SMS ada di kisaran Rp 150 per SMS. Sehingga, dalam waktu dekat, puluhan juta pelanggan telepon Indonesia bisa menghemat Rp 200 dari setiap SMS yang mereka kirim.

Astari Yanuarti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar