Senin, Juni 06, 2011

NYC, Kota Seratus Masjid (2)


Islamic Center NYC, Manhattan

Menemukan sesama muslim di jalanan New York ternyata tak sulit. Rangkaian perjumpaan tak sengaja itu sudah dimulai sejak mendarat di bandara internasional JFK. Taksi yang saya naiki menuju hotel di kawasan 1st Avenue Manhattan, ternyata disopiri seorang muslim asal Afrika.

Begitupun dengan sopir taksi yang mengantar ke Grand Central Station. Dia muslim dari Lebanon. Bahkan ketika sedang asyik menikmati gemerlap Times Square, saya sempat kenalan dan ngobrol dengan seorang pegawai bus wisata New York Sightseeing, yang lagi-lagi muslim.

Daftarnya makin panjang bila saya memasukkan pemilik toko-toko souvenir di kawasan China Town dan para penjual hotdog di daerah Queens Boulevard. Mereka adalah bagian dari sekitar 600 ribu warga muslim New York.

Menurut data dari Middle East Institute Columbia University, Islam menjadi salah satu agama dengan perkembangan paling cepat di New York. Selama puluhan tahun, komunitas muslim di Big Apple tumbuh melalui imigrasi dan pemeluk baru. Komunitas ini terdiri berbagai bangsa, ras, aliran, dan kelas sosial.

Seiring pertambahan umat, jumlah masjid yang dibangun makin banyak. Saat ini ada sekitar seratusan masjid yang tersebar di lima wilayah ( borough) New York City. Beraneka rupa bentuknya, ada yang mirip ruko ada pula yang megah lengkap dengan kubah seperti di Islamic Cultural Center of New York di 3rd Avenue Manhattan (satu-satunya masjid yang sempat saya sambangi).

Umumnya pembangunan masjid dilakukan oleh komunitas muslim setempat dengan biaya swadaya dan mengandalkan donasi dari negara-negara muslim lain. Biasanya juga tidak ada penentangan dari masyarakat sekitar. Kecuali pada pembangunan Cordoba House yang dipimpin oleh Imam Feisal Abdul Rauf.

Pusat Kebudayaan sekaligus masjid ini akan dibangun di Park 51, dua blok dari Ground Zero. Meski sudah mengantongi seluruh perizinan terkait, kalangan media massa sengaja membuat sensasi dengan menyebutkan Cordoba House akan dibangun tepat di Ground Zero. Alhamdulillah, berkat rangkaian lobi yang dilakukan Imam Feisal, pembangunan Cordoba House akan dimulai pada akhir tahun ini.

Astari Yanuarti

Kesegaran di Jantung Manhattan (1)

Central Park bak oase di tengah belantara pencakar langit New York City. Keteduhan dan kecantikan lansekapnya memikat hati puluhan juta pengunjung.

Belvedere Castle Lake

Wajah pengantin perempuan bergaun putih panjang itu, secerah mentari yang bersinar terik pada Ahad siang di musim gugur lalu. Sambil menggenggam buket bunga mawar, mulutnya tak henti menyunggingkan senyum dan melontarkan tawa.

Keceriaan ikut menjalar ke kerumunan kerabat di sekeliling sang pengantin baru. Rombongan kecil ini kemudian bergerak perlahan menuju gerbang keluar yang mengarah ke W.100th Street, Central Park West. Mereka menunggu mobil jemputan untuk pulang.

Tak lama berselang, terdengar keriuhan dari gerbang yang sama. Ratusan orang berkostum dan berpita merah jambu berjalan keluar. Beberapa poster bertuliskan solidaritas untuk para penderita kanker teracung ke langit.

Saat barisan panjang ini mulai terurai, saya melangkah masuk ke gerbang Central Park. Beberapa meter di sebelah kanan gerbang, puluhan anak balita berlarian kian kemari di area taman bermain. Tawa mereka nyaring terdengar, meski tetap tak sanggup membangunkan beberapa bayi montok yang tertidur lelap di dalam kereta bayi.

Makin lama menyusuri jalanan ke dalam, kesunyian mulai terasa. Hembusan angin musim gugur membawa serta alunan lembut saksofon. Nun di kejauhan, di bawah pohon rindang,  tampak dua pemuda, satu menggesek contrabass dan satu meniup saksofon. Dari sanalah musik merdu itu mengalun.

Beragam aktivitas tadi, biasa terjadi di Central Park setiap akhir pekan. Taman kota seluas 841 hektare ( sekitar empat kali luas Taman Monas Jakarta) ini memang menjadi tempat favorit warga New York City. Warga Amerika dan turis asing juga menyukai taman berbentuk persegi panjang ini.

Menurut data Central Park Conservacy, perusahaan swasta nirlaba pengelola taman, setiap tahun, sekitar 35 juta orang datang berkunjung. Jumlah ini membuat Central Park tercatat sebagai taman paling populer di Amerika.

Mengapa begitu banyak orang jatuh cinta pada Central Park? Ada berderet alasan. Seperti yang tersirat dari nama, lokasinya tepat di tengah Manhattan, jantung kota New York. Taman rancangan duo Frederick Law Olmsted dan Calvert Vaux, meski sepenuhnya buatan manusia, tapi terlihat alami dan sangat indah.

Sebanyak 24 ribu pohon beraneka spesies tumbuh memenuhi area taman. Kerindangan pepohonan ini mengundang 275 spesies burung singgah di Central Park saat migrasi tahunan menuju Atlantik.

sign of autumn

Terdapat tujuh danau dan kolam, padang rumput, 21 taman bermain, kebun binatang, tempat es skating, lapangan tenis, basket, sepakbola, dan voli, kastil pengamatan burung migran, teater, dan kebun bunga. Tersedia juga tujuh area khusus untuk para pencari ketenangan, misalnya di Strawberry Field dan East Green. Tak boleh ada alat musik dan aktivitas olahraga apapun di wilayah ini.

Khusus untuk pehobi sepeda, jogging, sepatu roda dan rollerblading, tersedia trek sepanjang 10 kilometer di dalam Central Park. Sedangkan total jalan setapak yang disediakan untuk pejalan kaki mencapai nyaris 100 kilometer. Karena itu, sebelum menjelajahi Central Park, bawalah peta yang tersedia gratis di bagian informasi taman ataupun di hotel-hotel.

Keindahan taman yang resmi dibuka tahun 1859 ini juga memikat para sutradara beken. Ratusan film sudah dibuat dengan berlatar Central Park. Contohnya: Serendipity, When Harry Met Sally, Home Alone 2, dan Enchanted.

Harleem Meer Lake

Para pemusik tenar pun menjadikan taman ini sebagai lokasi konser akbar. Yang paling fenomenal dan tercatat sebagai konser terbesar sepanjang sejarah adalah saat penyanyi country legendaris Garth Brooks manggung Agustus 1997. Penontonnya 980 ribu orang!

Walau menyediakan puluhan tempat beraktifitas, masuk Central Park bebas biaya alias gratis. Taman ini buka setiap hari sepanjang tahun mulai subuh hingga pukul 01 dinihari. Tak perlu khawatir soal keamanan, karena ada banyak petugas keamanan dan aturan larangan minum alkohol di dalam Central Park.

Kamis, Juni 02, 2011

Sensasi Eksotis Pulau Umang

Pulau mungil di ujung barat Pulau Jawa ini tak hanya punya pasir putih dan laut jernih. Desain vila-vilanya menyatu dengan alam. Makan malam bertabur bintang jadi pilihan.
 
Buih putih memercik mengiringi laju perahu kayu yang membawa kami. Deru mesin tempel berbaur desau angin menimpali percakapan segelintir penumpang. Sebagian lagi terlihat asyik menikmati keindahan laut biru yang terhampar, walau dengan mata terpicing karena menahan cahaya matahari.

Terik mentari itu membuat laut berkilau bak permata. Beberapa saat kemudian, tampak hamparan pasir putih. Perlahan-lahan, sosok pulau mungil itu makin jelas. Tiga bangunan beratap tinggi terlihat menyeruak di tengah selimut kehijauan aneka pohon.

Di sebelahnya ada beberapa gazebo beratap rumbia yang menjorok ke laut. Perahu berpenumpang 20-an orang ini berbelok ke kanan. Sebuah dermaga kecil telah menanti kami. Warna cokelat tua tiang-tiang kayu dermaga itu berpadu indah dengan gradasi putih, hijau, dan biru air laut di sekelilingnya.

Di bawah dermaga, sekelompok ikan dan kepiting berenang kian kemari. Ketika kami menjejak dermaga, kelegaan menghampiri. Akhir Mei lalu, kami menikmati sensasi eksotis Pulau Umang, setelah menempuh empat jam perjalanan darat dari Jakarta plus 10 menit naik kapal.

****

Ketika menebarkan pandangkan ke pulau seluas lima hektare itu, rasa penasaran muncul. Seasyik apa sih pulau yang terletak di sekitar Taman Nasional Ujungkulon, Kabupaten Pandeglang, Banten, ini?

Sejak 2004, PT Griya Sukses Mandiri (GSM) menyulap pulau ini menjadi resor berkonsep alam.
Kini sudah berdiri 60 bangunan vila tahan gempa dan air pasang. Ini terlihat dari bentuk rumah panggung seperti di Kalimantan.

Interiornya pun unik dan alami. Kayu, kaca, tanah liat, dengan bebatuan menjadi bahan utama yang menghias vila. Konsep open living room benar-benar membuat vila dengan dua kamar itu terlihat lapang dan nyaman. Dominasi dinding kaca di lantai atas juga membuat cahaya bisa masuk dengan bebas.

Presiden Direktur PT GSM Christian P.B. Halim menyebutkan, semua vila menghadap ke laut. Bangunan itu menempati dua kawasan: sunset dan sunrise. Jadi, setiap penghuni vila bisa menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit.

Selain itu, ada banyak bangunan lain. Misalnya ada The Beach Club, Sunrise Cafe, Private Beach, Jacuzzy, Kids Pool, dan gazebo di pinggir pantai. Semua bangunan beratap tinggi dan berbahan utama kayu. ''Kami ingin membuat pengunjung sejenak lepas dari kepenatan kota,'' kata Christian, yang membeli Pulau Umang itu sejak1980.


****

Ribuan tanaman juga menghijaukan areal di sekeliling pulau. Menurut Christian, mereka punya program penghijauan untuk menjaga vegetasi alamiah Pulau Umang. Untuk itu, kerj asama dengan Ujungkulon Conservation Society pun terjalin. Bahkan tiap wisatawan diajak ikut menanam satu pohon tiap berkunjung.

Pengelola Pulau Umang bertekad memenuhi sendiri kebutuhan air bersih untuk seluruh wilayahnya. Itu bukan hal mudah, karena luas Pulau Umang tak seberapa dan sangat rentan abrasi. ''Lalu saya mulai membangun sumur-sumur serapan air supaya cadangan air tawar makin tinggi,'' tutur Christian.

Usahanya tak sia-sia. Kini air bersih bisa mengalir lancar di setiap vila. Malah, berkat penghijauan dan sumur serapan itu, luas pulau bertambah secara alami. Dulu, ketika dibeli, luas pulau itu kurang dari 4 hektare. Tingginya kandungan air tawar di pulau itu sedikit demi sedikit menarik pasir-pasir karang di sisi luar pantai. Semakin lama, pasir yang terikat kian banyak, sehingga menambah luas wilayah pulau.

****

Kini di Pulau Umang tersedia banyak fasilitas wisata air. Berenang sampai puas, baik di laut maupun di kolam, sudah pasti. Masih ada pula banana boat, memancing, dan jetski. Yang tak kalah asyik adalah snorkeling. Tapi ini bukan di Pulau Umang. Kita harus pergi dulu ke Pulau Oar, yang juga milik Christian Halim. Biasanya kunjungan dilakukan setelah jam makan siang.

Di pulau yang berjarak tempuh 15 menit dengan perahu motor itu, suasananya masih sangat alami. Vegetasi liar, seperti ilalang, ketapang, menyelimuti pulau seluas 4 hektare ini. Keindahan kehidupan bawah laut di sekitar Pulau Oar lumayan memukau. Selain karang, masih ada beberapa hewan laut dan tumbuhan yang hidup bebas di sana.

Sepulang dari Pulau Oar, santap malam di atas pasir putih sudah menanti. Sederet bangku dan meja sudah tertata rapi di sepanjang pantai dekat dermaga. Kelap-kelip puluhan lampu minyak membuat suasana temaram itu bernuansa romantis. Apalagi, langit malam pada saat itu cerah bertabur bintang.

Debur ombak sesekali menjilati bibir pantai tak jauh dari meja-meja kami. Aroma hidangan laut bakar membuat perut makin keroncongan. Setelah cukup lama menunggu, sederet menu lezat tersaji di meja. Ada udang bakar, tumisan cumi bakar, aneka ikan goreng, tumis kangkung, lalap, dan sambal dabu-dabu. Hmmm.... nikmat sekali rasanya.


******

Selain menikmati wisata laut, pengunjung Pulau Umang juga bisa mencoba beragam aksi seru dengan outbond dan kemping. Lokasinya memang bukan di Pulau Umang, melainkan di Tangkilsari. Kawasan ini ada di dekat lapangan parkir pengunjung pulau yang terletak di Sumur (Pulau Jawa). Terdapat aneka permainan khas outbond, seperti flying fox, wall climbing, dan high roop's.

Lalu ada juga elvi's (berjalan di atas seutas tali yang terbentang sekitar lima meter di atas permukaan tanah) dan bambu gila. Semuanya makin seru karena dilakukan di atas bukit yang langsung menghadap ke laut. Pulau Umang dan Oar pun bisa terlihat dari bukit setinggi 50 meter itu. ''Area kami memang khas karena meliputi sungai, bukit, dan laut,'' kata Christian.

Sayang, hingga kini masih banyak wisatawan yang alergi datang ke kawasan pantai. Mereka masih takut pada tsunami dan gelombang pasang. Menurut Christian, meski berada di laut, pulaunya tergolong aman dari ancaman tsunami dan gelombang pasang. Letak Pulau Umang terlindung karena berada di teluk. Ada Tanjung Lesung di sebelah utara dan Ujungkulon di sisi barat.

Akses menuju pulau yang terletak 183 kilometer di sebelah barat daya Jakarta itu pun tergolong mudah. Banyak angkutan umum yang sampai ke Sumur, meski harus beberapa kali berganti kendaraan. Kalau mau ringkas, bisa memakai angkutan travel atau kendaraan pribadi.

Astari Yanuarti

MENYELAMI BUDAYA BADUY DALAM

Warga Kampung Cibeo, Baduy Dalam tetap bertahan dengan adat istiadat warisan leluhur. Banyak wisatawan tertarik berkunjung untuk meresapi ketenangan dan menikmati kehidupan kembali ke alam.

Sengatan terik mentari menemani penjelajahan ke kampung suku Baduy Dalam, suatu siang di pertengahan Mei. Trekking ini bermula dari Kampung Ciboleger, pintu masuk kawasan perkampungan Baduy di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.

Sebuah papan petunjuk arah terpampang di persimpangan jalan tanah setapak di ujung kampung Ciboleger. Dua bilah kayu berbentuk anak panah mengarah ke dua sisi berlawanan. Yang ke kiri tertulis Cibeo 12 km, yang ke kanan tertulis Gajebo 3 km. Cibeo, adalah nama salah satu kampung Baduy Dalam yang menjadi tujuan utama para wisatawan.

Kampung mungil yang terletak di pegunungan Kendeng ini terkenal dengan keaslian budaya dan adat istiadat kuno warisan nenek moyang suku Baduy.  Selain Cibeo, masih ada dua kampung Baduy Dalam lain: Cikertawana  dan Cikeusik. Tapi, lokasi keduanya lebih sulit dijangkau dan lebih terpencil.

*****

Meski Cibeo menjadi destinasi akhir, tapi saya berbelok ke kanan. Rute melewati Gajebo, sebuah kampung Baduy Luar, memang lebih populer bagi para trekker. Biasanya mereka memilih singgah semalam di Gajebo untuk melepaskan penat setelah berkendara tiga sampai lima jam dari Jakarta, plus satu jam berjalan kaki ke Gajebo.

Trek menuju Gajebo cukup menguras energi, apalagi  dilalui di tengah siang bolong. Nyaris tak ada trek mendatar. Tanjakan dan turunan dengan kemiringan hingga 45 derajat terbentang sepanjang jalan yang diapit sederetan ladang milik warga Baduy Luar.

Sekitar pukul 2 siang, saya tiba di Gajebo. Kampung yang tak begitu luas itu mendadak riuh. Sebab, saya pergi bersama rombongan karyawan dan direksi Indosat yang berjumlah sekitar 100 orang.

Saat itu, sebagian besar warga laki-laki sedang berada di ladang. Sementara para ibu terlihat tekun menenun di teras-teras rumah panggung beratap rumbia. Suara alat tenun mereka ditingkahi dengan celotehan anak-anak yang berlarian di lorong-lorong sempit pembatas antar rumah.

Selang sepuluh menit, saya bersama setengah dari rombongan bersiap melanjutkan perjalanan ke Cibeo .Sisanya akan bermalam di kampung Gazebo menemani Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam yang tak kuat lagi meneruskan perjalanan. "Maklum nafas perokok, dan kurang latihan," ujar Johnny.

Perjalanan ke Cibeo dimulai dengan menyusuri sisi sungai sekitar setengah kilo. Setelah itu trek yang kami lalui mulai menguras tenaga dan menghabiskan nafas. Dua hingga tiga bukit harus disusuri. Tiba-tiba titik-titik hujan jatuh menimpa dedaunan. Curahan hujan menjadi berkah mendinginkan suhu usai terpanggang matahari seharian. Tapi hujan membuat trek tanah lempung makin licin dan sulit dilalui.

Hujan mulai reda saat saya mencapai batas wilayah kawasan Baduy Luar dengan Baduy Dalam yang dipisahkan sungai dengan jembatan gantung bambu. Kelegaan menghampiri ketika melihat papan kayu bertuliskan Cibeo 4 km.

Tapi hanya sesaat. Tepat di seberang sungai, jalanan menanjak sepanjang sekilometer dengan kemiringan lebih dari nyaris 60 derajat sudah menanti. Dengan nafas ngos-ngosan, trek terberat ini berhasil dilalui.
 
******

Dari sela-sela kerimbunan pohon di depan, tampak jajaran lumbung-lumbung padi. Komposisi bangunan berwaran coklat dengan kehijauan dedaunan sangat menarik diabadikan. Namun,saya terpaksa menahan diri. Menurut Herman, warga kampung Cibeo yang menemani perjalanan sejak Ciboleger, semua alat elektronik harus dimatikan. "Dilarang memotret, merekam video,  dan memakai ponsel di kawasan Baduy Dalam," katanya.

Herman menuturkan, larangan ini adalah bagian dari ketentuan adat istiadat ( pikukuh) suku Baduy Dalam untuk menjaga nama baik dan kelestarian budaya mereka. Sebagai penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan, warga Baduy Dalam  percaya dengan Sang Hyang Tunggal, memuja arwah nenek moyang, dan memegang erat pikukuh dalam keseharian.

Ada banyak sekali pikukuh yang harus diterapkan. Misalnya, tidak boleh memakai odol, sabun, dan shampo karena mencemari lingkungan. Orang Baduy juga tidak bersekolah. Mereka meyakini sekolah akan membuat perubahan, yang berarti  menodai pikukuh.

Nah, orang Baduy yang melanggar atau tak bisa menjalankan pikukuh adat, akan diusir dari kampungnya. Mereka yang dikenal dengan nama Baduy Luar ini tinggal di sekeliling kampung aslinya. Saat ini ada 58 kampung Baduy, hanya tiga yang didiami suku Baduy Dalam.

 ******

Akhirnya, kami sampai di Cibeo menjelang jam 5 sore. Di tengah cahaya mentari yang mulai termaram, terhampar kampung mungil yang tertata rapi dan bersih. Di tengah kampung ada jalan lebar berbatu. Rumah-rumah panggung beratap rumbia berderet apik di sepanjang sisi jalan itu. Sungai Ciujung yang jernih mengelilingi kampung yang dihuni 117 kepala keluarga ini. Suasana kampung ini terasa damai dan tenang.

Mereka menyambut dengan senyum ramah. Pakaian yang mereka kenakan berwarna serupa paduan hitam dan putih. Kaum lelaki dan perempuan sama-sama memakai rok lilit  hitam. Hanya panjangnya yang berbeda, laki-laki diatas lutut, perempuan sebetis. Baju mereka disebut jamang, berwarna hitam, putih, atau  kombinasi. Semua lelaki memakai ikat kepala putih, ciri khas pembeda suku Baduy Dalam dengan Baduy Luar.

Di pinggang setiap lelaki termasuk anak laki-laki terselip golok. Senjata ini menjadi senjata wajib  untuk dalam keseharian baik di ladang, di rumah, atau bepergian. Di sana sini, terlihat para bocah itu memainkan golok mereka dengan lincah.  Saya agak bergidik melihatnya.

Meski berpegang teguh pada adat istiadat, warga Cibeo  terbiasa menerima tamu. Menurut Herman setiap musim liburan, ada sekitar 800 orang per hari yang mengunjungi Cibeo. Sebagian besar menginap di rumah-rumah penduduk seperti rombongan kami.

*******

Saya bersama seluruh anggota perempuan yang jumlahnya kurang dari 10 orang menginap di rumah Pak Santa ( nama orang Baduy Dalam hanya terdiri dari satu kata). Rumah orang Baduy Dalam punya beberapa kekhasan. Seperti tidak berjendela, hanya ada dua ruangan, dan punya tungku di dalam rumah. Untuk menghindari kebakaran, lantai kayu disekitar tungku dilapisi tanah liat. Asap hasil pembakaran keluar melalui lubang angin di atap.

Karena tidak mengenal mata uang, mereka hanya memakan apa yang tersedia di alam dan hasil ladang seperti beras, sayuran, pisang, madu hutan, jambu, dan kelapa. Kami seperti lazimnya pengunjung lain, membawa bahan makanan cepat saji seperti mie, abon, dan sereal untuk dimasak, karena tak ingin membebani tuan rumah.

Sembari menunggu, makan malam siap, rombongan saya memutuskan untuk mandi di sungai. Berbekal sinar senter para lelaki berceburan ke sungai. Sementara yang perempuan memilih ke bilik mata air yang terletak masuk ke hutan. Tentu saja kami dilarang memakai sabun, odol, shampo dan sejenisnya.

*****

Usai mandi, meski hanya diterangi lampu minyak kelapa, kami menikmati makan malam sederhana dengan lahap. Lalu tertidur pulas diatas papan kayu tanpa selimut ditemani bunyi jangkrik dan serangga malam lain.

Perbincangan hangat dengan pemilik rumah, terjalin keesokan hari. Sembari ikut memasak makan pagi, kami mengorek banyak cerita tentang adat istiadat, kebiasaan, dan keseharian suku Baduy Dalam. Kegiatan ini diselingi dengan penawaran aneka barang kerajinan buatan mereka. Ada kain tenun lilit, baju jamang bersulam, syal, gantungan kunci, tas kulit pohon, dan madu hutan.

Menjelang siang, kami berpamitan pulang diiringi hujan deras yang menyiram Cibeo. Beberapa dari kami meninggalkan nomor telepon dan alamat untuk menjaga tali silaturahmi. Berbekal alamat itu, kelak Herman dan rekan-rekannya akan melakukan kunjungan balasan dengan berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer.

Astari Yanuarti