Senin, Februari 23, 2009

PESONA MAGNET GRANIT RAKSASA

Tebaran batu-batu granit super besar hingga ke tengah laut menjadi daya pikat utama Pulau Belitung. Ditambah dengan bonus pasir putih, air laut sebening kristal, dan budaya nelayan tradisional.

Kelegaan terlihat jelas di wajah puluhan penumpang Kapal Express Bahari ketika berlabuh dengan selamat di Pelabuhan Tanjung Pandan, ibukota Belitung. Dengan tertib, satu per satu penumpang antri keluar kapal melalui pintu di geladak teratas. Kami harus melalui pintu berukuran mini ini karena air di dermaga sedang surut.

Sore itu, kapal cepat yang kami naiki dari Pangkal Pinang, Bangka, menjadi satu-satunya kapal yang bersandar. Tak heran jika suasana pelabuhan mungil yang ada di sisi barat Pulau Belitung nyaris sepi. Hanya ada segelintir porter. Mereka pun terlihat tenang, tidak ribut menawarkan jasa seperti lazimnya di pelabuhan lain.

Sedikit keriuhan baru terasa saat berjalan menyusuri selasar keluar gedung pelabuhan. Beberapa tukang ojek datang menghampiri dan menanyakan tempat tujuan. Sembari tersenyum simpul, saya melambaikan tangan menolak tawaran mereka. Karena Hotel Martani yang saya tuju hanya berjarak 200 meter dari pintu gerbang pelabuhan.

Hotel dengan jumlah kamar terbanyak di Belitung ini saya pilih berdasar rekomendasi dari beberapa teman sesama backpacker. Lokasinya tak jauh dari pusat kota Tanjung Pandan. Harga sewa kamar per malam juga ramah di kantong. Hanya Rp 108 ribu untuk kamar standar single dan Rp 285 ribu untuk kamar VIP.



Dalam perjalanan menuju hotel, saya melewati sebuah klenteng cantik berhias puluhan lampion merah. Belasan orang tampak hilir mudik di halaman klenteng. Rupanya mereka tengah menyiapkan upacara perayaan Cap Go Meh ( hari kelima belas dalam bulan pertama kalender China). Seperti di Bangka, sekitar sepertiga warga Belitung adalah warga keturunan Tionghoa.

Niat ingin menonton perayaan nanti malam sudah terbersit saat melintasi klenteng. Sayang, terkalahkan oleh rasa kantuk dan lelah. Maklum, perlayaran empat jam dari Pangkal Pinang ke Tanjung Pandan tak berlangsung mulus. Tiupan angin kencang, hempasan ombak tinggi membuat kapal sering berguncang keras selama berada di laut lepas.

Alhasil sebagian besar penumpang mabuk laut berkali-kali. Untunglah saya tidak kena sindrom ini. "Anda juga beruntung karena kapal jadi berangkat dan berlabuh dengan selamat. Sebulan ini kapal lebih sering batal berangkat karena gelombang tinggi, " ujar resepsionis Hotel Martani saat menyerahkan kunci kamar.
Cuaca buruk memang lebih sering mewarnai hari-hari pada musim angin barat seperti di bulan Februari saat saya berkunjung ke Belitung. Jadi, hanya segelintir turis 'nekat' yang singgah untuk menikmati keindahan deretan batu-batu granit super besar di sepanjang pantai pulau penghasil timah ini.

Meski perjalanan diawali dengan kondisi laut yang tak bersahabat, namun keyakinan (tentu saja disertai doa ) bahwa cuaca akan cerah ceria selama berwisata di Belitung, tetap tertanam kuat. Ternyata, Tuhan mendengar doa ini. Pancaran terik sinar matahari dan langit biru menghiasi dua hari perjalanan di Belitung. Inilah dua syarat utama untuk menyerap keindahan kemilau air laut dan hamparan pasir putih di sela-sela serakan bebatuan granit raksasa berwarna terang.

Keesokan paginya, dengan semangat terpompa penuh, penjelajahan dimulai menggunakan paket sewa sepeda motor plus guide. Untuk pejalan tunggal pilihan ini lebih ekonomis daripada sewa mobil kijang plus sopir yang tarifnya Rp 420 ribu per hari. Sewa motor dengan pengemudi merangkap guide per hari hanya Rp 130 ribu.

Bisnis rental mobil/motor menjadi bagian tak terpisahkan dari wisata Belitung. Karena di pulau seluas 4.800 kilometer persegi ( tiga perempat luas pulau Bali) ini, belum ada angkutan umum yang memadai. Mobil/motor sewaan jadi andalan para turis untuk mengunjungi belasan pantai dan obyek wisata yang tersebar di pulau berpenduduk 300 ribu-an jiwa ini. Syukurlah, kondisi jalanan di Belitung, mulus. Sehingga semua tempat wisata tadi bisa dicapai paling lama dua jam dari Tanjung Pandan.

Perkampungan Nelayan Tanjung Binga menjadi tujuan pertama. Lokasi kampung yang dihuni 300 kepala keluarga ( rata-rata warga keturunan suku Bugis) ini terletak 20 kilometer di utara Tanjung Pandan. Semilir segar angin laut menerpa wajah saat berjalan menyusuri dermaga kayu sepanjang nyaris 100 meter.

Dermaga yang menjorok ke laut ini terlihat sepi. Hanya tampak satu perahu tertambat di sisi kanan dermaga. Belasan perahu tradisional ( beberapa diantara bercadik) tampak tertambat di depan rumah terapung para nelayan. Deretan rumah, perahu, dan para-para ( tempat penjemuran ikan) terlihat menghiasi pesisir pantai di sisi kanan-kiri dermaga.

Nun di ujung dermaga, tampak sekelompok bapak-bapak, ibu-ibu dan anak kecil, tengah asyik memancing. Setengah ember-ember hitam mereka sudah terisi ikan-ikan sebesar dua jari. Namanya ikan rinyok. Mereka biasa berenang bergerombol di permukaan laut. Gerombolan ikan rinyok ini terlihat jelas dari dermaga, menggugah minat untuk mencoba memancingnya.

Tapi, ikan-ikan ini sombong juga. Mereka tak sudi menyentuh umpan di ujung kail saya. Padahal, umpan kail anak kecil di samping saya sudah berkali-kali menggaet ikan mungil-mungil itu. Akhirnya saya menyerah. Setelah mengucapkan terimakasih karena dipinjami kail, saya bilang, �gBukankah lebih cepat diserok saja daripada dipancing. Lama dan cuma dapat sedikit.�h

Celetukan ini dijawab dengan ringan oleh seorang bapak pemancing. �gBuat kami mancing ini hobi untuk mengisi waktu luang di pagi hari.�h Ternyata meski hanya iseng, hasil pancingan mereka lumayan, sampai enam kilogram per orang. Dan dijual seharga Rp 6000/kilo. Hmm, cukuplah untuk membuat asap dapur mengebul.

**********

Perjalanan berlanjut ke Tanjung Kelayang, sekitar 15 menit dari Tanjung Binga. Wah, hamparan pasir putih langsung terhampar di depan mata. Berpadu dengan laut biru jernih tempat puluhan perahu nelayan tertambat tak jauh dari bibir pantai. Karena memang tak ada dermaga di sini.

Selain untuk melaut, nelayan di Tanjung Kelayang biasa menyew
akan perahu untuk mengitari Pulau Lengkuas, Pulau Burung, dan Pulau Babi yang berada tak jauh dari pantai Tanjung Kelayang. Patokan harga sewa kapal dengan kapasitas enam penumpang itu, Rp 300 ribu.

Agar beban lebih ringan, harus dicari beberapa turis lain. Sayang, tak satu pun turis terlihat. Okelah, sepertinya memang harus menyewa perahu sendirian. Namun, setali tiga uang dengan pencarian pertama. Tak ada satu pun nelayan di pondok-pondok istirahat yang berjejer di pesisir pantai.

Duh, gagal sudah keinginan menaiki mercusuar buatan Belanda tahun 1882 di Pulau Lengkuas. Saya harus puas hanya memandangi mercusuar setinggi 50 meter yang ada di ujung pulau itu dari dermaga Tanjung Binga, tadi. �gKalau sepi begini, biasanya karena nelayan sudah tahu ombak di tengah laut sedang tinggi, meski dari sini terlihat tenang,�h ujar Agus Pahlevi, guide yang menemani saya.

Kekecewaan ini agak terobati saat berjalan-jalan menyusuri pantai berpasir putih yang terasa begitu lembut di kaki, menceburkan diri ke laut disela-sela bebatuan granit berwarna terang, serta memanjat deretan batu-batu granit yang berserak di tanjung (ujung daratan yang menjorok ke laut).

Dari atas batu-batu ini, pemandangannya luar biasa. Laut biru sebening kristal terhampar indah. Di kejauhan tampak gugusan batu berbentuk kepala burung Garuda, dikenal dengan Batu Garuda. Di sebelahnya terlihat Pulau Babi yang menghijau dipenuhi ribuan pohon nyiur. Dari sini, Pulau Lengkuas tak tampak karena terhalang Pulau Babi.

Kebeningan laut di bawah begitu menggoda untuk diterjuni. Namun, menurut Agus, lebih baik berenang dan bermain air di Pantai Tanjung Tinggi yang hanya berjarak 4 kilometer dari Tanjung Kelayang. Airnya lebih tenang dan dangkal. Ukuran batu-batu granitnya lebih spektakuler.

Ucapan Agus tidak berlebihan. Batu-batu granit super gede bertebaran di sepanjang pantai Tanjung Tinggi. Ada susunan batu yang tingginya menyamai pohon kelapa, sekitar 15 meter. Besarnya sama seperti rumah mewah berlantai tiga. Sebagian batu-batu itu berderet di pesisir. Sebagian lagi saling bertautan hingga jauh ke tengah laut.

Di beberapa sisi pantai batu-batu granit itu membentuk saling melingkar sehingga terbentuk semacam teluk yang teduh dan tenang. Di musim angin timur, ketika ombak di laut tak ganas, pantai Tanjung Tinggi berubah menjadi seperti danau raksasa. Sehingga pengunjung bisa sepuasnya berenang, menyelam, berendam, dan memancing, hingga puluhan meter ke dari pantai. Karena ketinggian air sampai di sejuah itu itu hanya setinggi dada orang dewasa.
Saat saya datang, ketenangan danau itu masih terlihat. Saya bisa berenang, berendam dan berjalan lumayan jauh ke tengah. Meski sesekali saya tersapu riak-riak ombak yang pecah.

Ombak di musim angin barat juga membawa aneka sampah dari tengah laut. Sehingga beberapa bagian pantai dipenuhi ceceran rumput laut kering, serpihan kayu mati, dan dedaunan. Padahal biasanya, ujar Agus, pantai berpasir putih ini bersih sekali.

Nah, yang tak boleh dilewatkan di pantai yang menjadi lokasi syuting film fenomenal Laskar Pelangi ini adalah, berjalan-jalan diantara celah sempit deretan batu-batu granit yang menjulang tinggi. Juga mendaki beberapa batu granit raksasa untuk mendapatkan pemandangan menakjubkan.

Tentu saja harus tetap berhati-hati karena bagian bawah batuan banyak ditumbuhi lumut. Selain itu beberapa batu punya kemiringan nyaris 90 derajat, jadi cukup sulit dipanjat. Celah-celah diantara bebatuan juga harus diwaspadai.

Batu-batu granit raksasa yang bersusun unik dan indah adalah ciri khas yang hanya dimiliki Belitung. Memang di Bangka terdapat beberapa pantai yang dihiasi bebatuan granit. Tapi ukurannya tak sebesar di Belitung, juga tak ada yang sampai bersusun di tengah laut.

Usia batu granit di Belitung sudah puluhan bahkan jutaan tahun silam. Batu granit termasuk jenis batuan beku dalam, sebab terbentuk dari magma yang mendingin di dalam perut bumi. Prosesnya pembentukannya lama, sehingga ukurannya bisa sangat spektakuler. Sedangkan warna cerah yang banyak dimiliki batu granit di Belitung karena mengandung silika. �gDiduga, dibawah pulau ini dulunya adalah gunung berapi kuno. Jadi pulau ini seperti kaldera,�h ujar Agus.

Kepuasan bermain di Tanjung Tinggi, sanggup menghapus kecewa karena tak bisa melaut ke Pulau Lengkuas. Kecewa kian hilang karena dalam perjalanan pulang, kami sempat mengujungi Kampung Bali di Sijuk, melihat-lihat lokasi penambangan timah, serta membelah perkebunan kelapa sawit.

Malah, kegagalan menaiki mercusuar di Pulau Lengkuas menjadi alasan untuk kembali. Apalagi untuk sampai ke pulau penghasil lada ini hanya butuh 50 menit terbang dari Jakarta.

Astari Yanuarti ( Belitung)

Sabtu, Februari 14, 2009

Menikmati Florence di Tepi Elbe



Kecantikan Dresden bersinar kembali di usia ke-800. Julukan "Florence dari Utara" yang sempat hilang akibat pengeboman Sekutu bisa tersemat lagi.

Sentakan lembut ketika bus berbelok arah membangunkan saya. Sembari meluruskan badan, mata pun melirik jam tangan: pukul 13.15. Pemandangan di luar sudah berubah dari ladang hijau pertanian menjadi deretan rumah, kantor, dan toko. Di beberapa plang nama tertulis: Dresden.

Berarti, tak lama lagi, bus akan tiba di Restoran Radeberger Spezialausschank, yang terletak di Bruelsche Terrasse, kawasan Old Town (Altstadt) Dresden, Negara Bagian Saxony, Jerman. Seperempat jam kemudian, bus berhenti tepat di depan sebuah rumah makan di tepian Sungai Elbe. Kehangatan bus segera berganti dengan terpaan hawa dingin di penghujung musim gugur, November silam.

Setelah lima menit berjalan kaki plus naik 20-an anak tangga, barulah terlihat tulisan Radeberger Spezialausschank tertempel di bangunan segi empat dua lantai warna cokelat muda. Atapnya berupa balkon terbuka yang dihiasi tudung-tudung tenda kuning mencolok. Dari tampilannya bisa ditebak, Radeberger termasuk restoran kuno.

Restoran yang ada di pintu masuk Bruelsche Terrasse itu berdiri sejak 1848. Sedangkan Bruehlsche Terrasse masyhur sebagai area beragam restoran bermenu lezat dengan pemandangan indah Sungai Elbe. Kawasan sepanjang setengah kilometer itu berdiri tepat di atas benteng kota Dresden, yang dibangun pada abad ke-16.


Inilah yang membuat Bruehlsche Terrasse dijuluki "Balkon Eropa". Dari sini, saya bisa melihat Augustusbruecke, jembatan lawas yang menghubungkan Altstadt dan Neustadt (New Town). Dua sisi kota dengan wajah berbeda. Sayang, karena mulai masuk musim dingin, pengunjung tak bisa makan di balkon terbuka.

Setelah menyantap menu makan siang bercita rasa Saxony, saya bersiap menjelajahi kota berpenduduk 5.000 jiwa itu. Tadinya, saya ingin bergabung dengan 20 rekan lain mengelilingi Altstadt dengan panduan guide yang sudah disediakan Departemen Luar Negeri (Deplu) Pemerintah Federal Jerman. Lawatan saya ke Dresden ini memang bagian dari Visitor Program 2008 on The Theme: Renewable Energy, kerja sama Deplu Jerman dengan German Energy Agency (DENA). Peserta program ini berasal dari 20 negara.

Namun, karena waktunya sempit, saya memilih berpisah dari rombongan. Berbekal Lonely Planet, buku pegangan kaum backpacker, saya mulai dengan menyeberangi Augustusbruecke. Di ujung jembatan, tampak kemilau emas patung kesatria berkuda. Monumen di pusat Neustadter Markt ini menjadi salah satu landmark Dresden yang disebut Goldener Reiter (Golden Rider).

Sang kesatria berkostum Romawi itu adalah Augustus The Strong, Raja Saxony paling berpengaruh yang mangkat tahun 1733. Wilayah kekuasaannya sampai ke Polandia. Maka, dia juga menyandang gelar Raja Polandia. Pada masa pemerintahannya, berdiri banyak bangunan megah beraksitektur barok, termasuk Zwinger Palace. Tentu saja dengan melibatkan seniman, musisi, aktor, dan pematung asal Italia. Makanya, pada saat itu Dresden dikenal dengan julukan "Florence di Tepi Sungai Elbe" atau "Florence dari Utara".


Uniknya, arsitek patung Augustus yang dibuat pada 1735 itu bukan dari Italia, melainkan dari Prancis, yakni Jean Joseph Vinanche. Patung itu selamat dari pengeboman pasukan Sekutu ketika Perang Dunia II. Padahal, serangan brutal yang berlangsung pada Februari 1945 nyaris meratakan seluruh bangunan di pusat kota Dresden. Hanya seperempat bangunan indah bersejarah bergaya barok maupun renaisans di Altstadt yang masih berdiri.

Serbuan ribuan pasukan Sekutu menewaskan lebih dari 30.000 warga Dresden. Tak mengherankan bila penduduk setempat menganggap tindakan Sekutu itu serupa dengan Holocaust. Ini pula yang membuat gerakan Neo-Nazi menguat di Dresden. Pada 2005, ada 8.000 pendukung Neo-Nazi yang berkumpul di kota ini. Mereka tak hanya anti-Yahudi, melainkan juga punya sentimen negatif kepada orang asing.

Syukurlah, selama menyusuri kawasan Neustadt yang kosmopolitan dengan pertokoan modern dan restoran bergaya baru, tak terlihat anak-anak muda skinhead. Sebaliknya, wajah-wajah ramah saya jumpai sepanjang jalan utama Hauptstrasse.

***

Setelah mampir ke supermarket untuk membeli pulsa telepon, saya berjalan kembali ke arah Altstadt. Di kawasan kota tua ini, serangkaian perbaikan masih terselip di sana-sini. Rangkaian panjang renovasi pasca-serangan Sekutu dilakukan sejak Jerman belum bersatu. Reunifikasi Jerman mempercepat rekonstruksi massal ini, meski sempat terhenti karena banjir milenium yang melanda Dresden pada 2002. Ketika itu, permukaan Sungai Elbe naik 9 meter dari ketinggian normal akibat curah hujan melebihi normal.

Pada saat saya datang, kerusakan bekas banjir itu tidak terlihat. Yang tampak hanya rekonstruksi tahap lanjutan di beberapa bagian Istana Taschenberg dan Gereja Kreuzkirche. Jadi, secara keseluruhan, bangunan-bangunan kuno di Altstadt sudah berdiri megah seperti kondisi asli di masa silam dan bisa dikunjungi wisatawan.

Misalnya terlihat pada dua gereja utama di Altstadt, yaitu Gereja Katolik Roma Hofkirche dan Gereja Protestan Fauenkirche. Dua gereja ini punya sejarah unik. Hofkirche, yang terletak di antara Schlossplatz dan Theaterplatz, dibangun Augustus the Strong. Sebab, agar sah sebagai Raja Polandia, Augustus harus pindah menjadi penganut Katolik. Padahal, ketika itu, mayoritas penduduk Dresden adalah penganut Protestan yang taat. Maklum, Marthin Luther menerjemahkan Injil ke bahasa Jerman pertama kali di Dresden.

Katedral yang dibangun dari tahun 1738 sampai 1755 itu didesain arsitek Italia, Gaetano Chiaveri. Makanya, nuansa barok sangat kental pada bangunan yang seluruh interiornya nyaris hancur dibom Sekutu itu. Restorasi dilakukan tak lama setelah Perang Dunia II selesai. Menara setinggi 85,5 meter kembali tegak. Juga 78 patung yang mengelilingi semua sisi atap bersusun gereja. Makam empat Raja dan Ratu Saxony tetap bertahan pula di dalam. Pun sebuah kendi berisi hati Augustus the Strong (tubuhnya dimakamkan di Krakow, Polandia).

Berbeda dari Hofkirche, pembangunan Frauenkirche sepenuhnya diprakarsai warga kota Dresden mulai tahun 1726. Bangunan dengan ciri utama kubah "stone bell" ini didesain George Bahr. Sama seperti Hofkirche, serangan carpet bombing menghancurkan gereja berjuluk Church of Our Lady yang berada di jantung kota Dresden itu. Selama hampir setengah abad, Frauenkirche hanya berupa reruntuhan.

Pasca-reunifikasi, upaya renovasi mulai bisa dijalankan. Malah Frauenkirche menjadi simbol rekonsiliasi internasional setelah Perang Dunia II. Donasi pembangunan kembali mengalir dari berbagai penjuru dunia. Akhirnya gereja dan patung Marthin Luther di depannya selesai direnovasi pada 2005, setahun sebelum ulang tahun ke-800 Dresden.

Dua objek lain yang sayang bila dilewatkan adalah Zwinger Palace dan Fuerstenzug. Keduanya dijamin akan mengundang gelengan kepala, diiringi decak kagum. Khusus untuk Zwinger, butuh waktu beberapa jam bila ingin menjelajahi semua bagiannya. Istana superluas ini punya enam museum di dalamnya.

Kemegahannya terlihat dari 32 lorong Long Gallery di sisi selatan serta empat pavilyun simetris di sisi timur dan barat. Koleksi porselen istana ini tercatat terbesar nomor dua di dunia. Ada juga Nymphenbad (pemandian para bidadari) dengan air mancur cantik dan patung-atung dewi pahatan Balthasar Permoser.

Sedangkan Fuerstenzug adalah lukisan mural di dinding luar Istana Residenzschloss. Dengan panjang 102 meter dan tinggi 7 meter, mural porselen ini menjadi yang terpanjang di dunia. Mural yang mulai dilukis pada 1876 ini mengisahkan kehidupan seluruh keluarga Kerajaan Saxony, yang memerintah sejak tahun 1123 hingga 1904. Hanya satu raja yang tak ada dalam mural itu, yakni raja terakhir, Friedrich August III.

***

Hari sudah gelap. Saatnya saya bergabung dengan rombongan untuk menuju Hotel Mercure. Kami harus menaruh koper-koper dulu sebelum kembali bersiap untuk makan malam dan menonton konser klasik di Semperoper (Semper Opera House). Acara terakhir ini saya nantikan sejak tiba di Jerman, lima hari sebelumnya. Niat awal saya, ingin menonton konser klasik di Berlin. Namun jadwal program yang begitu padat membuat kesempatan itu hanya bisa terlaksana di Dresden.

Popularitas Dresden sebagai kota musik klasik belumlah sebersinar Berlin atau Vienna. Tapi kota yang terletak 200 kilometer di selatan Berlin ini punya Semperoper, salah satu gedung opera terindah di dunia. Beberapa musisi klasik kenamaan pertama kali memainkan karyanya di sini, seperti Richard Strauss dan Richard Wagner.

Semperoper dibangun pada 1678 di lokasi yang sama dengan sekarang, yaitu Theaterplatz. Lalu, pada 1838 and 1841, Gottfried Semper membangun gedung tambahan bergaya renaisans (berbeda dari desain barok yang dominan di Altstadt). Tepat di atas pintu utama gedung oval itu terdapat empat patung panther yang ditunggangi Dionysos, dewa seni dalam mitologi Yunani dan Ariadne. Sedangkan di dua sisi pintu masuk, ada patung dua penulis terkenal Jerman, Goethe dan Schiller. Masih ada pantung Shakespeare, Sophocles, Moliere, dan Euripides di ceruk yang terdapat di sisi keliling gedung.

Setelah menjadi bangunan mati selama 40 tahun akibat serangan Sekutu, Semperoper bisa digunakan kembali mulai tahun 1985. Eksterior dan interior bangunan dibuat lagi seperti aslinya. Sehingga kemegahan interior Semperoper tetap mengagumkan. Ada balkon empat tingkat mengelilingi ruang utama yang beratap kubah. Dinding balkon dan atap berhias lukisan malaikat kecil dan para dewi. Lukisan serupa menjadi backdrop panggung utama.

Pada malam itu, jadwal pertunjukan bukan dari kelompok simfoni kenamaan, seperti The Dresden Philharmonic Orchestra dan Dresdner Sinfoniker. Melainkan ensembel Trio Ex Aequo, yang memainkan tiga babak komposisi dari Johannes Brahms. Kelompok ini baru menelurkan satu album. Tapi prestasi ketiga anggotanya, Matthias Wollong (biola), Matthias Moosdorf (selo), dan Gerald Fauth (piano), sebagai solois berderet panjang. Masing-masing telah terlibat dalam pembuatan puluhan rekaman yang meraih penghargaan di banyak negara.

Terbukti, penampilan mereka selama dua jam sangat memuaskan. Saya bersama ribuan penonton yang memadati Semperoper memberi aplaus panjang di akhir konser. Saking panjangnya, Trio Ex Aequo harus bolak-balik empat kali ke depan panggung.

Apresiasi heboh penonton itu membuat saya terkesima. Rasanya sulit menemukan kombinasi sempurna konser musik klasik seperti ini di Indonesia. Saya sungguh beruntung. Berbekal tiket seharga 9,1 euro, bisa menonton konser di gedung opera megah bertata cahaya dan tata suara sempurna, disuguhi penampilan cantik, dan larut dalam keriaan penonton. Pengalaman ini, ditambah dengan keindahan Altstadt dan sajian menu lezat khas Saxony, membuat persinggahan sehari di Dresden mengguratkan kenangan manis.

Astari Yanuarti (Dresden)
*Originally published in Gatra No 7/XV 31 Desember 2008

Menelusuri Jejak The Sound of Music


Originally published in Gatra No 11/XV, 22-28 Januari 2009


SalzburgAlign Center

—Mozart, keindahan alam pegunungan, dan The Sound of Music selalu melekat pada Salzburg. Kota cantik ini bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. ——

Deretan awan kelabu nyaris menutupi mentari pagi. Selarik sinar surya mengilaukan ujung rerumputan halaman rumah mungil di Leopoldskron Strasse 18, Salzburg, Austria. Tetes embun hampir beku didera suhu nol derajat semalam.

Cuaca pada 19 November lalu memang berbalik 180 derajat dari sehari sebelumnya yang bermandikan matahari. Namun mendung tak sanggup menyurutkan semangat menjelajahi kota berpenduduk 150.000 jiwa yang berada di utara Pegunungan Alpen itu.

Maklum, agenda hari terakhir ini sudah menjadi impian terpendam selama satu dekade: menelusuri jejak pembuatan film The Sound of Music. Keindahan alam pegunungan, bangunan kuno, danau, hingga jalan-jalan pedesaan dalam film musikal peraih lima Piala Oscar pada 1965 itu sempat menyihir puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia, termasuk saya.

Sebagai penyuka kisah pasangan Baron Georg Ritter von Trapp dan Maria von Trapp, sejak awal saya mencantumkan Salzburg dalam daftar rencana perjalanan backpacker ke Eropa. Sebentar lagi saya akan menjadi bagian angka statistik 300.000-an per tahun peserta tur film legendaris yang dibintangi Julie Andrews dan Christopher Plummer itu.

Usai mengepak tas punggung, saya bergegas membuka pintu keluar rumah Alberto Polimeni, teman yang memberi tumpangan gratis selama tiga hari. “Semoga hari ini berjalan indah, sehingga tur impianmu berkesan dalam,” ucap Alberto, sebelum kami mengucapkan salam perpisahan. Sebab, usai menjalani tur ini, perjalanan saya berlanjut ke destinasi berikutnya, Copenhagen, Denmark.

Tepat pukul 09.00, mobil penjemput dari Salzburg Sighseeing Tours tiba. Biro perjalanan ini membuka tur The Sound of Music sejak 43 tahun lalu berbekal pengalaman sebagai penyedia transportasi dalam pembuatan film itu.

Menurut buku panduan wisata, tur ini dilakukan dua kali sehari, pukul 09.30 dan pukul 14.00. Harga tiket dewasa 37 Euro untuk perjalanan selama empat jam mengelilingi beberapa lokasi di Salzburg dan Salzkammergut. Saya memilih membeli tiket tur karena lebih hemat dan praktis daripada jalan sendirian. Apalagi saya sudah berjalan kaki menelusuri aneka sudut kota selama dua hari pertama.

Schloss Mirabell

Schloss Mirabell

Sepuluh menit kemudian, mobil tiba di Mirabellplatz 2, tempat berkumpul peserta tur. Tapi tak tampak ada keramaian. Hanya terlihat satu bus besar dan beberapa mobil seukuran L-300. Ternyata sebagian peserta pergi ke taman bunga Schloss Mirabell di belakang Mirabellplatz 2. Taman yang dirancang pada 1730 ini berisi aneka rupa bunga, seperti mawar, tulip, dan krokus (bunga berwarna kuning, putih, ungu, dengan daun seperti rumput).

Karena musim dingin, tak semua bunga bermekaran. Hanya mawar dan krokus yang mengembang. Tak satu pun kuncup tulip mekar. Toh, taman ini tetap sedap dipandang karena ditata dengan indah. Ada patung Pegasus (kuda bersayap dalam mitologi Yunani) di tengah air mancur.

Pada saat melihat Pegasus, seketika terbayang adegan lincah Maria bersama tujuh anak-anak Baron von Trapp menyanyikan lagu Do-Re-Mi. Sambil menari-nari mengelilingi Pegasus dan ke segala penjuru taman, Maria mengajarkan pada Liesl dan enam adiknya tangga nada dengan lirik refrain yang menggelitik.

“Doe, a deer, a female deer. Ray, a drop of golden sun. Me, a name I call myself. Far, a long long way to run. Sew, a needle pulling thread. La, a note to follow sew. Tea, I drink with jam and bread. That will bring us back to do.” Selain karena keindahannya (terutama ketika musim panas), adegan tadi membuat taman yang terletak di belakang Mirabell Palace itu wajib dikunjungi pencinta The Sound of Music.

Festung Hohensalzburg

Festung Hohensalzburg


Kota Salzburg yang cantik dilihat dari Festung Hohensalzburg

Kota Salzburg yang cantik dilihat dari Festung Hohensalzburg

Yang tak boleh di lewatkan, pada saat berdiri di sisi atas sebelah barat Schloss Mirabell, berbalik arahlah. Akan terpampang benteng kota bersejarah Festung Hohensalzburg, memanjang di atas bukit nun di sebelah timur. Bangunan benteng terbesar di Eropa Tengah yang dibangun pada 1077 itu masih utuh. Malah di dalamnya dibangun museum, Golden Hall untuk konser musik klasik, restoran mewah, hingga Stasiun Kereta Festungbahn.

Festung Hohensalzburg termasuk lokasi yang wajib dikunjungi di Salzburg. Harga tiket masuknya hanya 7 euro. Tersedia pilihan naik ke benteng dengan kereta atau berjalan mendaki 15 menit. Karena ukurannya yang superluas dan terletak di atas bukit, siapkan tenaga ekstra. Sehari sebelumnya, saya menghabiskan waktu setengah hari untuk mengelilinginya.

Di dalam benteng ada titik paling tinggi yang boleh dinaiki pengunjung. Dari atap tertinggi ini, kita bisa melihat kecantikan Salzburg dengan sudut 360 derajat. Dua bukit hijau tersembul di antara deretan bangunan kuno abad ke-15 berarsitektur barok (kubah) dan alur-mengular Sungai Salzach yang membelah kota. Di sisi selatan terlihat deretan Pegunungan Alpen. Puncak terdekat, yaitu Untersberg (1.972 meter), terlihat menawan dengan pucuk selimut salju.

Puas menikmati keindahan Schloss Mirabell, saya kembali ke kantor Salzburg Sighseeing Tours. Empat peserta tur menyusuri lokasi-lokasi syuting The Sound of Music lainnya sudah berkumpul. Karena hanya berlima, kami naik mobil. Sedangkan puluhan peserta tur keliling kota Salzburg naik bus.

Kebetulan semua peserta tur The Sound of Music kali ini perempuan dari negara-negara Asia. Termasuk pengemudi mobil sekaligus pemandu tur, yaitu Sonja (hanya saja, Sonja asli Austria).

Tujuan pertama kami adalah Villa Trapp, yang terletak di kawasan Aigen. Rumah bergaya barok bercat kuning dengan halaman amat luas ini adalah kediaman asli keluarga Baron von Trapp (The Sound of Music adalah film adaptasi dari memoar Maria von Trapp berjudul The Story of the Trapp Family Singers).

Rumah Asli dari Keluarga von Trapp

Rumah Asli dari Keluarga von Trapp

Selanjutnya, rombongan mengarah ke selatan, menuju Hellbrunn Palace. Di halaman istana ini, diletakkan gazebo berdinding kaca, tempat Liesl bertemu dengan Rolf Gruber dan menanyikan lagu Sixteen Going to Seventeen. Sayang, pintu gazebo terkunci rapat. “Karena sudah ada beberapa kasus pengunjung yang terpeleset ketika meniru adegan melompat-lompat tempat duduk di gazebo,” kata Sonja.

Rute ketiga, melihat dua lokasi yang digabung menjadi rumah Von Trapp dalam film. Tampilan depan rumah Von Trapp berbeda dari tampilan belakang. Di sisi muka, kru film memakai Fronburg Palace yang terletak tak jauh dari Hellbrunn. Sedangkan untuk fasad belakang, mereka menggunakan Leopoldskron Palace, rumah megah di pinggir danau. Nah, syuting adegan di dalam rumah dilakukan di Studio 20th Century Fox di Los Angeles. Ooo… ternyata begitu, ya.

Setelah melewati kawasan Biara Nonnberg Abbey, tempat tinggal Maria sebelum bekerja di rumah Von Trapp, kami memulai perjalanan panjang menyusuri kawasan pedesaan Distrik Salzburg. Walau disertai gerimis, pemandangan perbukitan hijau, ladang rumput, dan rumah-rumah pedesaan dengan warna mencolok tetap mengundang decak kagum.

Jalan naik-turun dan berbelak-belok pun tak terasa, karena Sonja jago menyetir. Masih ditambah sajian lagu-lagu dalam The Sound of Music yang sebagian besar sudah kami hafal. Alhasil, sepanjang perjalanan sekitar satu jam ini riuh dengan kor menyanyikan The Sound of Music, Do-Re-Mi, Edelweiss, hingga So Long Farewell.

Pada saat melewati Danau Fuschl menuju ke arah Desa St. Gilgen, Sonja memperlambat laju kendaraan. Kawasan pegunungan dengan danau indah ini tampil sebagai pembuka film, dengan pengambilan gambar dari udara. Sebenarnya saya ingin berhenti sejenak di salah satu pebukitan di Distrik Salzkammergut ini, untuk menikmati pemandangan, sekaligus bergaya ala Maria von Trapp lengkap dengan baju tradisional ala pedesaan Austria.

Namun keinginan itu tak dikabulkan Sonja. Selain karena gerimis, udara di luar juga menggigit tulang. “Kalau musim panas, boleh. Kalau sekarang, kamu bisa membeku di luar sana,” tutur Sonja. Meski bisa memahami alasan itu, tetap saja ada sedikit sesal di hati.

Sonja menambahkan, bergaya ala Maria von Trapp memang banyak dilakukan peserta tur pada musim panas, puncak wisatawan datang ke Salzburg. Setiap tahun, Salzburg dikunjungi 6,5 juta turis. Mereka datang dengan aneka alasan. Mulai dengan napak tilas kehidupan musikus ternama Wolfgang Amadeus Mozart yang asli Salzburg, menikmati pertunjukan musik tahunan Salzburg Festival, berjalan menyusuri kota tua (Altstadt), hingga ikut tur The Sound of Music.

"I do", kata Maria von Trapp

"I do", kata Maria von Trapp


Perhentian terakhir kami adalah Mondsee Cathedral, yang ada di sisi utara Distrik Salzkammergut. Setting pernikahan Maria dengan Baron dilakukan di gereja mungil ini. Interiornya masih sama seperti dalam film. Suasana syahdu juga melingkupi seluruh bangunan. Hanya, kali ini yang ada di depan adalah misa pemakaman warga setempat, bukan pemberkatan pernikahan.

Sebelum kembali ke Salzburg, kami berjalan kaki menyusuri kota kecil Mondsee sembari mencari tempat rehat minum kopi. Setelah mengisi perut dengan aneka kue tradisional Austria, kami pulang melalui rute berbeda dengan pemandangan sama indah. Meski puas, tekad untuk kembali datang di musim panas tertanam di dada.

Astari Yanuarti (Salzburg)