Jumat, Juni 02, 2006

Mengenang Vasa di Museum Stockholm


Kota kepulauan ini menyimpan sejuta keindahan dengan kelokan-kelokan air di setiap sudut. Kemegahan kastil tua berpadu dengan gemerlap modern supermarket. Sungguh elok.

UDARA dingin menerpa wajahku saat aku keluar dari Acapulco Hotel Stockholm, Swedia. Meski jam sudah menunjukkan pukul 11.00, tak ada secercah pun sinar mentari. Minggu pertengahan Oktober lalu, mendung tampak menyelimuti seluruh langit Stockholm.

Toh, ini tak menyurutkan semangatku untuk menjelajahi kota tua itu. Apalagi aku tak punya cukup waktu luang selama sebulan menimba ilmu di Universitas Stockholm. Materi pelatihan yang begitu padat membuatku terpaku di kampus sepanjang weekday. Praktis, hanya di weekend-lah aku punya kesempatan menelusuri kota terindah di Skandinavia ini.


Sambil merapatkan retsleting jaket, aku bergegas menemui teman-temanku yang sudah menunggu di halaman hotel. Hari itu kami akan mengunjungi museum kapal perang Vasamuseet. "Museum ini yang paling banyak dikunjungi di Swedia, bahkan di Skandinavia," kata koordinator pelatihan, Asa Pettersson.

Stockholm memang dikenal sebagai kota museum. Ada 68 museum tersebar di seluruh pelosok kota yang luasnya hanya sepertiga Jakarta ini. Beberapa museum sama sekali tak memungut biaya alias gratis. Sisanya memasang tarif sekitar 10 sampai 80 SEK (kronor Swedia).

Sebenarnya, Vasamuseet hanya berjarak sekitar lima kilometer dari hotelku. Tapi memang beda pulau. Vasamuseet terletak di Pulau Djurgården, sedangkan Hotel Acapulco di Pulau Sodermalm. Kami pun memilih menggunakan kereta subway, dilanjutkan dengan naik kapal feri.

Kami tak perlu membayar saat naik kereta dan kapal feri. Cukup menunjukkan kartu transpor bulanan. Asalkan punya kartu transpor bulanan senilai 600 SEK, kita bisa menggunakan semua jenis angkutan umum di Stockholm. Lebih irit.

Setengah jam berlalu saat kapal feri yang kami tumpangi bersandar di dermaga kecil Grona Lund, Djurgården. Grona Lund adalah sebuah nama taman hiburan yang persis terletak di samping kanan dermaga. Taman ini seperti pasar malam di Indonesia yang mempertunjukkan badut, komidi putar, sampai tong setan. Sayangnya, selama musim gugur dan musim dingin, Grona Lund tutup.

Di kejauhan sebelah kiri dermaga tampak bangunan hitam berbentuk kapal berdiri kokoh. Di tengah tiupan angin dingin bercampur percikan air dari laut, kami pun berjalan menyusuri jalan setapak yang menguning dipenuhi daun maple.

Butuh lima menit untuk mencapai gedung itu. Sebelum masuk, kami menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang Nordiska Museet yang tepat berada di depan Vasamuseet. "Ayo foto bareng dulu. Gedungnya bagus banget, tuh. Sayang kalau dilewatkan," seru Noy, seorang teman dari Laos.

Dengan membayar 60 SEK, kami masuk ke bangunan serba hitam itu. Meski cuaca di luar tak begitu cerah, saat masuk ke Vasamuseet tak urung pupil mata tetap harus dilebarkan. Cahaya di dalam gedung yang punya tujuh jenjang itu amat redup. Tak hanya itu, udaranya pun lembap dan berembun.

Tampaknya, ini semua demi sosok hitam besar yang tersandar di aula utama museum. Itulah kapal perang Vasa yang melegenda. Kapal sepanjang 69 meter, lebar 11,7 meter, dan tinggi tiang layar utama 52,5 meter itu berlabuh utuh di tengah ruangan museum yang didesain terbuka.

Sebelum berkeliling ke tujuh lantai museum, aku menonton film sejarah kapal perang Vasa. Tak lucu, kan, kalau cuma tahu bendanya tapi tak paham sejarahnya? Film sepanjang 25 menit ini menceritakan mulai pembuatannya, tenggelam, penyelamatannya oleh Anders Franzen, sampai masuk museum.

Sejarah kapal ini dimulai sejak lima abad silam, saat Swedia mulai membangun kekaisaran di Laut Baltik. Tentu ini memicu perang dengan negara sekitarnya. Termasuk dengan Polandia pada 1620-an. Raja Swedia Gustavus Adolphus pun memerintahkan pembangunan kapal-kapal perang untuk merajai lautan. Maka, dibuatlah kapal perang Vasa untuk mewujudkan ambisi Gustavus punya kapal perang tak terkalahkan di dunia.

Henrik Hybertsson, pembuat kapal kenamaan asal Belanda, dipercaya membangun Vasa di Stockholm mulai tahun 1625. Dengan melibatkan ratusan orang dan menghabiskan ribuan meter kubik kayu, Vasa pun mulai dibangun. Butuh tiga tahun untuk merampungkannya.

Minggu pagi 10 Agustus 1628, kapal perang Vasa yang masih "kinyis-kinyis" itu siap melaut. Pantai di sepanjang pesisir Stockholm dipenuhi pengunjung. Mereka ingin menyaksikan awal perjalanan ambisius Vasa merajai Laut Baltik. Lambaian tangan pengunjung, termasuk para diplomat asing, mengiringi terkembangnya layar Vasa.

Namun, hanya beberapa menit berselang, segalanya berubah. Kapal berisi 150 penumpang itu mulai miring ke kanan, dan makin lama makin miring. Air pun mulai masuk ke dek persenjataan yang terbuka. Alih-alih berlayar dan menembakkan meriam, kapal itu kian limbung tanpa daya. Dan, disaksikan ribuan pasang mata yang terbelalak, kapal megah itu akhirnya nyungsep ke dasar laut.

Tak semua penumpangnya bisa menyelamatkan diri. Saat Vasa diselamatkan dari tidur panjangnya di dasar Laut Baltik tahun 1961, ada 25 kerangka manusia yang tersisa.

Saat musibah terjadi, Raja Swedia Gustavus Adolphus tak ada di tempat. Ia tengah berperang di Polandia. Gustavus baru mengetahui dua pekan kemudian, dan ia sangat marah. Menurut dia, musibah ini karena kelalaian dan kesembronoan. Dan semua pihak yang terbukti bersalah harus dihukum. Maka, kapten kapal Vasa Söfring Hansson, Henrik Hybertsson, dan beberapa pihak lain yang selamat pun diinvestigasi oleh pihak Kerajaan Swedia.

Investigasi berjalan lambat plus rumit. Pasalnya, sang pembuat kapal, Henrik Hybertsson, sudah meninggal sebelum kapal itu siap menarik sauhnya. Saudaranya serta rekannya, Arendt de Groot, yang melanjutkan proyek Vasa.

Akhirnya, tak seorang pun dinyatakan bersalah. Kerajaan menyimpulkan, kapal itu sudah dibangun dengan tepat tapi tidak proporsional. Persenjataan yang diangkutnya di dua dek teratas dianggap terlalu banyak. Dengan 64 meriam dan senapan, lengkap dengan amunisinya, kapal perang Vasa tak mampu menahan beban secara seimbang.

Usai menonton film di auditorium di lantai IV, aku naik ke lantai V. Di sinilah kehidupan para penumpang kapal dipamerkan. Di tengah ruangan, ada 10 peti kaca berisi kerangka 10 penumpang kapal. Semua kerangka itu dijuluki sesuai dengan penyebutan huruf abjad Swedia. Mulai Adam, Beata, Cesar, sampai Ylva. Penamaannya diurutkan sesuai dengan pengangkatan kerangka itu ke permukaan laut.

Dinding sepanjang ruangan dipenuhi foto kerangka para korban disertai penjelasan forensik. Misalnya disebutkan, semasa hidupnya Adam adalah pria sehat berusia 35-40 tahun dengan tinggi 165 cm. Namun, saat muda, ia mendapat kecelakaan yang membakar mukanya. Dia pula yang pertama ditemukan oleh para penyelam tahun 1958.

Sedangkan Ylva adalah gadis berusia 16 tahun, agak bungkuk dan kurang gizi. Ylva menjadi salah satu dari dua perempuan korban Vasa. "Menyedihkan juga ya kisah Vasa. Kasihan mereka yang jadi korban," bisik temanku dari Filipina, Florian.

Tak hanya Vasamuseet yang memesona pengunjung Stockholm. Masih ada Skansen, yang letaknya sekitar 400 meter sebelah selatan Vasamuseet. Skansen terkenal sebagai museum open air pertama di dunia.

Aku mengunjungi Skansen sepekan sebelum ke Vasamuseet. Untuk masuk ke museum yang didirikan Artur Hazelius pada 1891 ini, aku harus membayar tiket 40 SEK. Skansen seperti perpaduan Taman Safari dengan Taman Mini Indonesia Indah. Di museum ini, aku menemukan aneka rupa hewan khas Swedia yang hidup bebas. Saat ini, ada sekitar 70 spesies hewan yang tinggal di Skansen Zoo. Mulai binatang buas seperti beruang cokelat, elk, reindeer, serigala, lynx, hingga anjing laut. Ada juga kuda khas Swedia yang punya rambut kepala sangat lebat. Kuda inilah yang sering dijadikan motif suvenir.

Selain itu, museum ini juga berisi ratusan bangunan miniatur kehidupan budaya Swedia. Ada 150 rumah tinggal dan rumah pertanian yang dibawa dari seluruh penjuru Swedia. Sebagian besar bangunan itu berasal dari abad ke-18, ke-19, dan ke-20.

Aku bisa masuk ke rumah-rumah kuno itu. Di dalam rumah, aku disambut perempuan berbaju petani zaman baheula. Dia tengah memasak roti dengan segala perlengkapan masak masa lalu. Roti-roti yang bentuknya lucu dan baunya enak itu bisa kita cicipi. Tapi tidak gratis, lho. Bayar dulu 10 SEK. "Hmm, enak banget!" gumamku sambil mengunyah sepotong roti yang masih hangat.

Di puncak Bukit Skansen, ada Kastil Prince Eugene yang sangat indah. Di puncak kastil berwarna merah itu berkibar bendera Swedia. Aku sangat ingin masuk ke sana. Sayangnya, saat aku sampai di pintu masuk, di situ tertulis pengumuman: sedang direnovasi.

Selain menjelajahi museum, objek yang sayang kalau dilewatkan adalah shopping arena. Sebenarnya, hampir semua sisi jalan di Stockholm digunakan sebagai toko. Semuanya tersedia, mulai kios rokok, kedai makanan, kafe, pub, sampai superstore. Makanya, tak sulit jika ingin berbelanja di Stockholm.

Bagi turis, ada dua lokasi belanja yang wajib disambangi. Kawasan Drottninggatan dan Gamla Stan (Old Town). "Kalau kalian mau mencari suvenir, belanja baju, dan buku, datang saja ke Drottninggatan," kata Mark Comeford, dosen yang mengajarku di Universitas Stockholm.

Mark benar. Drottninggatan yang terletak di sisi timur stasiun pusat kota T-Centralen memang menawarkan aneka rupa barang. Sisi kanan-kiri jalan sepanjang 1,5 kilometer ini dipenuhi gemerlap toko-toko berdesain modern berpadu dengan toko-toko berdesain kuno.

Gedung bagian depan supermarket seperti Åhlens's didominasi kaca. Sehingga setiap pejalan kaki bisa melihat kemilau kristal, baju, dan sepatu rancangan desainer kenamaan. Tak hanya itu, Drottninggatan juga dipenuhi puluhan toko suvenir. Ratusan jenis cenderamata dijual di sana. Semuanya elok dan unik. Dijamin akan membuat Anda bingung memilih.

Kalau ingin berbelanja, sebaiknya memilih toko yang memajang bendera atau label tax free shopping. Di toko ini, kita akan mendapatkan kembali sebagian pajak konsumen. Apalagi, pajak konsumen di Swedia termasuk tinggi, 25%. Jadi, lumayanlah kalau bisa kembali rata-rata 18%.

Aku berjalan makin ke selatan. Di depanku tampak jembatan yang menghubungkan ke pulau lain, Gamla Stan. Seperti namanya, Gamla Stan benar-benar menggambarkan kota Stockholm berabad-abad silam. Di pulau inilah asal mula kota Stockholm. Gamla Stan dibangun pada abad ke-12 dan menjadi pintu penghubung antara Laut Baltik dan Danau Mälaren. Ratusan bangunan kuno tersebar di seluruh pelosok Gamla Stan.

Bangunan pertama yang kusinggahi adalah Royal Castle, tempat tinggal resmi Raja Swedia. Kastil megah ini dibangun pada abad ke-13. Dengan lebih dari 600 kamar, Royal Castle tercatat sebagai salah satu kastil terbesar di Eropa.

Ada beberapa museum di dalam lingkupan tembok kastil. Mulai Museum of Antiquities Gustav III, Royal Armoury, sampai the Royal Chapel. "Wah, butuh berapa pelayan ya untuk kastil sebesar ini," pikirku sembari menatap puncak kastil.

Gamla Stan punya puluhan jalan yang saling silang dan pendek-pendek, yang hanya cukup untuk satu mobil. Nah, agar tidak tersesat, sebaiknya membawa peta. Seperti Drottinggatan, semua sisi jalan di Gamla Stan juga dipenuhi toko dan kafe. Bedanya, sebagian besar adalah toko suvenir khas Swedia.

Langit mulai gelap saat aku mulai merasa lelah dan kedinginan. Aku pun mampir ke kedai kopi Kaffekopen di dekat Royal Castle. Hangatnya secangkir kaffe latte dan lezatnya sepotong kladakka mampu menghangatkan tubuhku kembali.

Ah, sebulan ternyata tak cukup untuk menelusuri Stockholm. Masih banyak tempat yang belum tersambangi. Vi ses igen, Stockholm!

Astari Yanuarti

This article originally published in Gatra Weekly Magazine Vol 5 / XI 18 December 2004